Kamis, 29 Oktober 2015
semangat
semangat mengejar mimpi didepan mata , ujian,tantangan harus kita lewati untuk menggapai kesuksesan diakan datang, kerja keras dan rela berkorban lah untuk membuat orangtua kita bahagia,dengan membuat mereka tersenyum dengan hasil kerja keras kita selama kuliah inilah kta bisa namanya berbalas budi dan bisa merubah kehidupan lebih baik ,lagi
NAMA: CHAERUNNISA
NPM: 11215451
KELAS: 1EA04
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
TUGAS: #SOFSKILL 2 ILMU BUDAYA DASAR TENTANG NOVEL
1. JUDUL : SERDADU KUMBANG
Serdadu kumbang menggambarkan tentang suasana anak yang meraih
cita-citanya dengan semangat seperti
seorang serdadu atau tentara
Penulis :Rain chudori-soerjoatmodjo
Penulis :Rain chudori-soerjoatmodjo
Penerbit :Gradienmediatama
Tanggal terbit : Juni-2011
Pemeran:
- Yudi Miftahudin – Amek
- Aji Santosa – Umbe
- Fachri Azhari - Acan
- Monica
Sayangbati - Minun
- Titi
Sjuman - Siti Aisyah
- Ririn
Ekawati - Bu Guru Imbok
- Lukman
Sardi - Pak Guru Alim
- Asrul Dahlan - Zakaria
- Leroy
Osmani - Pak Openg
- Dorman
Borisman - Pak Jabuk
- Surya
Saputra - Ketut
- Gerry
Puraatmadja - Pak Haji Idrus
- Putu
Wijaya - Papin
- Fanny
Fadillah - Jaenady
- Adinda
Fudia Hanamici - Aida
Hiruk-pikuk sekolah dalam
mempersiapkan kelulusan siswanya terasa di seluruh pelosok Indonesia. Tak
terkecuali di SD-SMP 08 Mantar, Desa Mantar, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten
Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.. Karena tahun sebelumnya banyak siswa tidak
lulus, maka para guru menerapkan kedisiplinan ketat untuk meningkatkan
kemampuan siswa. Namun, tak selamanya kebaikan menurut orang dewasa berdampak
baik pula pada anak-anak.
Penegakan kedisiplinan yang kaku menimbulkan dampak bagi
murid-murid yang masih dalam usia pertumbuhan. Paling tidak bagi trio Amek (Yudi
Miftahudin), Acan dan Umbe. Amek memang tak lulus ujian. Padahal sebetulnya
ia anak yang baik hanya sifatnya introvert, keras hati dan cenderung jahil,
sehingga sering dihukum oleh guru-gurunya di sekolah. Beda dengan Minun,
kakaknya yang selalu juara kelas di SMP, bahkan menjuarai lomba matematika
se-kabupaten. Minun menjadi ikon sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat.
Minun dan Amek tinggal bersama ibu mereka, Siti (Titi Sjuman),
di Desa Mantar yang terletak di puncak bukit jauh dari kota. Ayah mereka,
Zakaria (Asrul Dahlan) sudah tiga tahun bekerja sebagai TKI di Malaysia.
Bukan saja tak pernah pulang, juga tak pernah mengirimkan uang belanja. Jadi
bisa dibayangkan betapa berat Siti mesti mencari nafkah untuk keluarganya.
Di luar desa indah ini, tumbuh sebatang pohon di bibir tebing
menghadap ke laut lepas. Inilah yang disebut pohon cita-cita. Memang unik
karena setiap dahannya diikat dengan tali ke botol yang diisi secarik kertas
bertuliskan cita-cita si penulis.
Minun sangat menyayangi Amek yang lahir dengan bibir sumbing
hingga sering dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya. Padahal di balik
cacatnya, Tuhan memberikan banyak kelebihan, salah satunya adalah kemahirannya
berkuda. Sering orang bertanya, "apa cita-citamu kelak?" Amek tak
pernah menjawab, bahkan pada gurunya sekalipun. Ia takut akan ditertawakan
karena sadar betul pada kekurangannya.
Amek, Acan, Umbe, Minun dan anak-anak sekolah Mantar sangat
dekat dengan Bu Imbok (Ririn Ekawati). Guru favorit inilah yang paling
mengerti keinginan murid-muridnya. Cita-citanya yang ditulis dalam botol
menjadi teka-teki dalam film ini.
Seperti film Alenia sebelumnya, eksplorasi kekayaan alam
Indonesia tampil cantik. Sayangnya, alur yang padat cerita membuat nilai haru
sulit didapatkan. Meskipun banyak nama besar dipasang, namun film ini kurang
sedikit menggigit. Pengambilan ide dari persoalan yang sedang hangat dibicarakan
memudahkan penonton larut dalam cerita.
4.Pesan Moral dalam Novel Serdadu
Kumbang
Pesan moral yang ingin
disampaikan dalam novel Serdadu Kumbang mengenai moral terhadap
kehidupan anak Indonesia di daerah dan pesan moral terhadap dunia pendidikan.
Pesan
moral terhadap kehidupan anak Indonesia di daerah digambarkan Amek,
Acan, dan Umbe, tiga sekawan dalam cerita Serdadu Kumbang yang
merupakan cerminan yang merefleksikan kehidupan anak Indonesia di daerah dalam
menghadapi realitas kehidupan serba berkekurangan ketika impian, cita-cita, dan
harapan adalah pedoman hidup untuk terus melangkah maju menghadapi segala
persoalan yang ada. Jauh dari sarana prasarana pemenuhan kebutuhan hidup
merupakan sebuah tantangan terlebih lagi ketika didekatkan pada realitas betapa
majunya dunia hari ini dengan segala kecanggihannya. Meskipun demikian, sarana
prasarana bukanlah satu-satunya faktor utama untuk mencapai keberhasilan,
karena sesungguhnya ketiga faktor penggerak daya hidup yaitu impian, cita-cita,
dan harapan yang memiliki kekuatan lebih didalam kehidupan manusia.
Pesan moral terhadap dunia pendidikan yang
terkandung dalam novel Serdadu Kumbang ditunjukkan oleh Haji Mesa dan
dan Bu Guru Imbok. Haji Mesa mengajarkan nilai-nilai moral dan agama dengan
penuh kelembutan, anak-anak yang awalnya dianggap nakal sebenarnya mereka patuh
dan taat. Bu Guru Imbok mengajarkan pendidikan untuk semua, baca tulis untuk
masayarakat yang masih buta huruf, mengajar melalui cerita sekaligus
menyampaikan pesan-pesan moral yang harus dipelajari. Semuanya disampaikan
dengan baik dan simpatik, walau ruang kelas hanya berada di bawah rumah
panggung dengan alat tulis yang seadanya pula.
Pesan moral yang dapat diambil dari
novel ini adalah jangan menyerah untuk mengejar cita-citamu, teruslah
berusaha walaupun dirundung keterbatasan dan kesedihan. Pendidikan yang baik
bukanlah sekadar nilai akademis akan tetapi juga nilai moral. Selain itu,
kesederhanaan, perjuangan, keberanian, kesabaran, tidak mudah putus asa, yang
membuat anak bertahan hidup dengan lebih baik. Selain itu, Pesan moral yang
disampikan pada novel ini bahwa manusia terlahir merdeka, manusialah yang
memenjarakan diri manusia dalam berbagai keharusan yang disebut sistem yang
sayangnya ternyata kerap menyusahkan orang yang sama sekali tidak mengerti apa
itu sistem. “… saya tidak bangga cucu saya cerdas di kepala tapi tidak di
dalam hati”adalah kutipan penggalan-penggalan kalimat yang menyangkut tujuan
pendidikan itu sendiri. Ternyata pendidikan sebenarnya bukan tentang selembar kertas
yang dikenal dengan nama ijazah, melainkan untuk menjadikan setiap manusia itu
sendiri memiliki moral yang baik.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Novel ini layak dibaca oleh seorang pelajar. Karena mengandung unsur-unsur positif yang membangun cerita ini dan banyak pesan moral yang harus diteladani dari novel serdadu kumbang ini .
http://www.kapanlagi.com/film/indonesia/serdadu-kumbang-menggugat-sistem-pendidikan.html
Selasa, 27 Oktober 2015
#Softskill ke-1 “Hubungan Ilmu Budaya Dasar dengan Ekonomi”
NAMA:CHAERUNNISA
NPM :11215451
KELAS: 1EA04
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
HUBUNGAN
ILMU BUDAYA DASAR DENGAN EKONOMI
Sebelum kita membahas
hubungan antara ILMU BUDAYA DASAR dengan EKONOMI, sebaiknya kita mengetahui
terlebih dahulu apa itu ilmu budaya dasar. Apa itu ilmu budaya dasar? Ilmu
budaya dasar adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberi pengetahuan dasar
dan pengertian umum tentang konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah
manusia dan kebudayaan.
Istilah Ilmu Budaya Dasar dikembangkan petama kali diIndonesiasebagai pengganti istilah basic Humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun bahasa humanities berasal dari bahasa latin, humanus yang artinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Agar manusia menjadi humanus mereka harus mempelajari ilmu the humanities tetapi tidak meninggalkan tanggungjawab lain sebagai manusia itu sendiri.
Menurut Prof Dr.Harsya Bactiar ilmu dan pengetahuan dikelompokan menjadi tiga kelompok besar yaitu:
Istilah Ilmu Budaya Dasar dikembangkan petama kali diIndonesiasebagai pengganti istilah basic Humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun bahasa humanities berasal dari bahasa latin, humanus yang artinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Agar manusia menjadi humanus mereka harus mempelajari ilmu the humanities tetapi tidak meninggalkan tanggungjawab lain sebagai manusia itu sendiri.
Menurut Prof Dr.Harsya Bactiar ilmu dan pengetahuan dikelompokan menjadi tiga kelompok besar yaitu:
1.
Ilmu alamiah (natural
scince)
Yaitu ilmu alamiah
yang bertujuan untuk mengetahui keteraturan yang ada di alam semesta. Untuk
mengkaji hal ini di gunakan metode ilmiah. Dengan cara menentukan hukum
yang berlaku mengenai keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan
suatu kualitas. Yang termasuk ilmu ilmiah antara lain ilmu astronom,fisika,kimia,biologi,kedokteran,mekanika.
1.
Ilmu sosial (social
scince)
Yaitu ilmu sosial yang
bertujuan untuk mengkaji keteraturan dalam hubungan manusia. Untuk mengkaji hal
ini digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu ilmiah. Tapi hasil
penelitiannya tidak 100% benar hanya mendekati kebenaran. Sebab keteraturan
dalam hubungan manusia tidak dapat berubah dari waktu ke waktu. Yang termasuk
ilmu sosial yaitu ekonomi, sosiologi, politik, demografi, antropologi
sosial, sosiologi hukum dsb.
1.
Pengetahuan budaya
(the humanities)
Yaitu pengetahuan
budaya yang bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan yang bersifat
manusiawi. Untuk mengkaji digunakan metode pengungkapan peristiwa dan kenyataan
yang bersifat unik kemudian diberi arti.
Ilmu Budaya Dasar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Inggris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan budaya.
Guna membahas kaitan kebudayaan dan pembangunan ekonomi, para ahli mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian
proses pembinaan identitas bangsa (“aku orang Indonesia”). Budaya daerah menjadi “acuan perantara” antara “budaya
nasional” dan “budaya wilayah” (“aku orang Sumatera, aku orang Sulawesi, dan sebagainya”). Budaya “ikatan primordial”
melekat pada suku, agama, dan lingkaran di seluruh Tanah Air (“aku orang Aceh, aku orang Sangir, aku orang Bangka,
aku orang Ambon”, dan sebagainya). Salah satu pengamatan penting Soedjatmoko adalah bagaimana “mempertemukan”
budaya Barat dengan budaya-budaya Indonesia sehingga terjadi “pembebasan budaya daerah dari kungkungan tradisi”.
Bagaimana membuat orang “terbebas” dari tradisi, namun tidak “tercabut” dari ikatan budaya seperti suku, agama, dan
kedaerahan?
Kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi menjadi tema dasar sejumlah karya besar dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu administrasi negara, bahkan ilmu ekonomi itu sendiri sejak 1950-an. Gunnar Myrdal dari Swedia, 1960-an, membandingkan kinerja “negara keras” dan “negara lembek” guna menggambarkan perlunya “negara kuat” mendobrak “mental lembek” pegawai negeri, yang dinilainya menghambat pembangunan
nasional. Ahli sosiologi Selo Soemardjan dan ahli antropologi Koentjaraningrat, 1970-an, mengajukan pemikiran pentingnya “sikap mental” dalam pembangunan nasional. Denis Goulet menegaskan pentingnya “pilihan kejam” yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi. Belakangan (1993), Samuel Huntington menghimpun tulisan sejumlah pakar mancanegara dari berbagai benua dalam Culture Matters (Kebudayaan Itu Penting).
Indonesia hingga kini masih ramai memperdebatkan hubungan timbal balik antara kebudayaan dan pembangunan ekonomi. Perdebatan itu dibahas di kalangan pujangga Indonesia tahun 1930-an dan 1940. Tokoh budaya “pro-Barat”,
seperti Armyn Pane, berpolemik dengan tokoh yang memberat pada tradisi, seperti Ali Boediardjo. Perdebatan menarik itu lalu diwacanakan sebagai “kaum keroncongis” dengan “kaum gamelanis”. Pada 1960-an hingga 1970-an, berlanjut menjadi perdebatan musik Indonesia yang merangkul musik Barat dengan mereka yang berpegang pada musik daerah dan suku. Soedjatmoko meramu perdebatan itu melalui rumusan, tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri
seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai “modernisasi” dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai yang penting untuk kelestarian jati dirinya.
Ilmu Budaya Dasar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Inggris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan budaya.
Guna membahas kaitan kebudayaan dan pembangunan ekonomi, para ahli mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian
proses pembinaan identitas bangsa (“aku orang Indonesia”). Budaya daerah menjadi “acuan perantara” antara “budaya
nasional” dan “budaya wilayah” (“aku orang Sumatera, aku orang Sulawesi, dan sebagainya”). Budaya “ikatan primordial”
melekat pada suku, agama, dan lingkaran di seluruh Tanah Air (“aku orang Aceh, aku orang Sangir, aku orang Bangka,
aku orang Ambon”, dan sebagainya). Salah satu pengamatan penting Soedjatmoko adalah bagaimana “mempertemukan”
budaya Barat dengan budaya-budaya Indonesia sehingga terjadi “pembebasan budaya daerah dari kungkungan tradisi”.
Bagaimana membuat orang “terbebas” dari tradisi, namun tidak “tercabut” dari ikatan budaya seperti suku, agama, dan
kedaerahan?
Kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi menjadi tema dasar sejumlah karya besar dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu administrasi negara, bahkan ilmu ekonomi itu sendiri sejak 1950-an. Gunnar Myrdal dari Swedia, 1960-an, membandingkan kinerja “negara keras” dan “negara lembek” guna menggambarkan perlunya “negara kuat” mendobrak “mental lembek” pegawai negeri, yang dinilainya menghambat pembangunan
nasional. Ahli sosiologi Selo Soemardjan dan ahli antropologi Koentjaraningrat, 1970-an, mengajukan pemikiran pentingnya “sikap mental” dalam pembangunan nasional. Denis Goulet menegaskan pentingnya “pilihan kejam” yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi. Belakangan (1993), Samuel Huntington menghimpun tulisan sejumlah pakar mancanegara dari berbagai benua dalam Culture Matters (Kebudayaan Itu Penting).
Indonesia hingga kini masih ramai memperdebatkan hubungan timbal balik antara kebudayaan dan pembangunan ekonomi. Perdebatan itu dibahas di kalangan pujangga Indonesia tahun 1930-an dan 1940. Tokoh budaya “pro-Barat”,
seperti Armyn Pane, berpolemik dengan tokoh yang memberat pada tradisi, seperti Ali Boediardjo. Perdebatan menarik itu lalu diwacanakan sebagai “kaum keroncongis” dengan “kaum gamelanis”. Pada 1960-an hingga 1970-an, berlanjut menjadi perdebatan musik Indonesia yang merangkul musik Barat dengan mereka yang berpegang pada musik daerah dan suku. Soedjatmoko meramu perdebatan itu melalui rumusan, tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri
seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai “modernisasi” dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai yang penting untuk kelestarian jati dirinya.
contoh Study kasus yang berkaitan dengan ilmu budaya
dasar dengan ekonomi
hasil produk barang Indonesia seperti baju
batik di jogja sangat lah di sukai oleh para pendatang asing yang sedang
berkunjung ke Indonesia untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga disana, dan
produk Indonesia seperti batik itu lah bisa meningkatkan perekonomian yang
terjadi di Indonesia , masyarakat yang mempunyai hoby dalam melukis dan
mendesgin baju batik khas jogja bisa di salurkan bakatnya dan bisa menghasilkan
keuntungan bagi dirinya,selain baju bisa juga mejual seperti kain tenun
bermotif batik , tas bermotif batik , sandal maupun yang lainnya , jadi jika
ingin meningkatkan perekonomian di Indonesia kembangkan lah kreatif , ide, dan
kemauan yang sangat tinggi jika ingin merubah nasib dan jadilah anak Indonesia yang
bisa mengembangkan karyanya dibidang apapun,karena jika kita bisa mengembangkan
kreatifitas akan mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan perekonomian di Indonesia.
Sumber : Buku Ilmu Budaya Dasar oleh Widyo Nugroho dan Achmad Muchji yang diterbitkan oleh Gunadarma.
http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=55:pembangunan-ek..
Langganan:
Postingan (Atom)